Kain Tapis Lampung adalah warisan leluhur yang menjadi simbol kemegahan dari eksistensi suku Lampung khususnya pada perempuan, alam dan tentu saja Sang Pencipta.
Ia amat identik dengan penghargaan bagi kaum perempuan pada masyarakat Lampung, sama halnya dengan Siger, mahkota bagi kaum perempuan yang megah nan mewah.
Kain tapis berkembang seiring dengan peradaban pada masyarakat Lampung yang kala itu membutuhkan sebuah simbol prestise yang menjadi pembeda khususnya bagi kaum perempuan yang berada pada level kaum 'ningrat'.
Coraknya pun beragam, namun yang jelas, kain yang kental dengan nuansa kebudayaan masyarakat Lampung ini menjadi sebuah identitas tersendiri bagi eksistensi masyarakat Lampung tak hanya pada masa lampau tapi juga pada masa kini.
Sejarah Kain Tapis Lampung
Baca Juga: Inovasi Polytron Bantu UMKM Laundry Rumahan Untung Maksimal
Kain tapis diperkirakan sudah ada sejak abad ke-2 masehi. Di masa itu, masyarakat Lampung sudah memiliki kemampuan dalam hal menenun sebuah kain brokat atau nampan hingga kain pelepai
Dalam catatan sejarah, masyarakat Suku Lampung mulai menenun kain brokat atau nampan (tampan) dan kain pelepai.
Sejarawan asal Belanda, Van der Hoop menyebut kala itu kain brokat yang ditenun memiliki beragam motif namun memiliki kecenderungan sesuai dengan peradaban yang berkembang pada masa kain tapis itu dibuat.
Saat itu, kain-kain tapis ini dibuat dan ditujukan bagi para bangsawan Lampung, baik lelaki maupun perempuan, namun kain tapis memang lebih didesain untuk kaum perempuan Lampung dengan berbagai motif yang indah seperti perahu (jung), rumah sesat hingga hewan seperti gajah.
Kain Tapis Lampung juga konsisten dijadikan sebagai simbol kelas sejak awal mula ia diciptakan dan digunakan sampai dengan saat ini.
Pada masa kini, kain tapis memang lebih eksklusif. Ia hanya akan digunakan pada momen tertentu dan cenderung sakral bagi para penggunanya, seperti ketika begawi adat atau pernikahan.
Karenanya, kain tapis menjadi simbol keagungan tersendiri yang bersanding dengan banyak simbol-simbol lain seperti siger.
Bentuk konsistensi lainnya adalah, kesukaan masyarakat Lampung sejak awal kain tapis Lampung dibuat hingga saat ini yakni tetap menggunakan benang emas yang memang identik dengan kemegahan, kemakmuran hingga kemewahan.
Motif Kain Tapis Lampung
Kain ini memiliki motif yang variatif seperti kait dan kunci (key and rhimboid shape), pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal.
Motif-motif ini umumnya berkembang pada masa sebelum peradaban Islam hadir di Lampung, tapi banyak juga kalangan yang menilai tiap motif menjadi perlambang perkembangan atau semacam cerita sejarah masa lampau masyarakat Lampung.
Motif lain yang juga berkembang dalam tiap corak kain tapis Lampung adalah motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati.
Motif Kain Tapis Lampung pasca Masuknya Peradaban Islam
Pasca masuknya peradaban Islam di Lampung, kain tapis Lampung juga mengalami perubahan dalam hal motif atau beberapa motif juga dihadirkan untuk lebih memperkaya atau mengembangkan coraknya sehingga motif maupun unsur lama tetap dipertahankan.
Meski tidak terlalu identik, masyarakat Lampung menyandingkan peradan Islam dalam motif kain tapis yang lebih bersifat natural atau bisa juga sebagai perwujudan syukur terhadap berbagai ciptaan Tuhan melalui perlambang-perlambang yang diwakili dengan motif seperti manusia, tumbuhan maupun hewan.
Kain Tapis Lampung untuk Berbagai Prosesi dan Kelas Sosialnya
Tinggi dan luhurnya budaya Lampung kala itu juga membagi strata sosial pada kain tapis hingga pengguna dari kain tapis itu sendiri.
Kain tapis dibagi lagi berdasarkan jenis prosesi yang digelar, maka dari itu jenis kain tapis yang digunakan juga berbeda-beda pun dengan pengguna kain tapisnya dalam hal lapisan sosial dan statusnya di masyarakat adat dan keluarga.
Misalnya, untuk kain tapis yang memiliki motif Tapis Agheng, Tapis Kaca, dan Cucuk Pinggir dikenakan pada wanita atau istri tua.
Sedangkan untuk prosesi pernikahan, maka pengantin akan menggunakan kain tapis jenis Tapis Jung Sarat, Raja Tunggal, Dewasano, Raja Medal, Limar Sekebar, Ratu Tulang Bawang, dan Cucuk Semako.
Penggunaan kain tapis juga cukup ketat penggunaannya khusus bagi para penari misalnya, penari cangget (tarian menyambut tamu) tapis yang digunakan memiliki motif Tapis Balak, Bintang Perak, Pucung Rebung, Kibang, dan Lawek Linau.
Tiap motif, penggunaan serta penggunanya ini sudah diatur dalam adat itu sendiri baik secara tersirat maupun tersurat, sehingga penggunanya memang harus hati-hati dalam memilih dan menggunakan kain tapis yang sesuai dengan aturan adat karena ini menyangkut kepatuhan hingga sanksi yang diberlakukan oleh masyarakat adat Lampung.
Baca Juga: Merayakan Keragaman Kuliner Nusantara dalam Sebungkus Mie Instan
Makna Kain Tapis dalam Banyak Hal di Masyarakat Adat Lampung
Begitu luhurnya entitas kain tapis ini, maka oleh banyak masyarakat Lampung, kain tapis bahkan menjadi sebuah pusaka yang terus diwariskan secara turun temurun dari anak cucu yang biasanya menyasar ke anak tertua tapi beberapa keluarga umum juga membagi kain tapis pada setiap anaknya, baik perempuan maupun laki-laki, khusus pada anak laki-laki, kain tapis memang lebih condong diberikan kepada anak menantunya.
Kain tapis juga menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat Lampung, namun harus tetap hati-hati dan tetap berada dalam aspek lokalitasnya. Pengerjaan kain tapis, memerlukan ketekunan, ketlitian dan kesabaran, sehingga terwujudlah kain tenun tapis yang indah dan kaya makna. Adanya kerja sama yang baik dapat mempersingkat proses pembuatan kain tapis.
Bahan dan Alat Tenun Kain Tapis Lampung
Sama seperti kecenderungan motif kain tapis yang terus berkembang. Bahan dan alat tenun untuk membuat kain tapis Lampung juga terus berubah menyesuaikan perkembangan zaman, hal ini umumnya lebih mengacu kepada kepraktisannya mengingat proses pembuatan kain tapis Lampung membutuhkan waktu yang tak sebentar.
Bahan-bahan seperti benang katun yang berasal dari tanaman kapas dan digunakan dalam pembuatan kain tapis.
Sedangkan benang emas digunakan dalam membuat ragam motif pada tapis dengan sistem sulam. Di masa lampau, sampai dengan tahun 1950, para pengrajin kain tapis masih menggunakan bahan-bahan yang mereka buat dari hasil olahannya sendiri, khususnya bahan tenun hal inilah yang membuat kain tapis Lampung jadi terasa lebih istimewa dan sarat makna.
Bahan-bahan dasar kain tenun tapis Lampung adalah tanaman kapas untuk membuat benang, kepompong ulat sutera sebagai sumber pembuatan benang sutera, lilin sarang lebah untuk meregangkan benang, tanaman akar serai wangi untuk pengawet benang, dan penggunaan daun sirih untuk membuat warna kain tidak luntur.
Pewarna kain tapis terbuat dari pewarna alami yang berasal dari tanaman yang terdiri dari buah pinang muda, daun pacar, kulit kayu kejal (warna merah), kulit kayu salam dan kulit kayu rambutan (warna hitam), kulit kayu mahoni atau kulit kayu durian (warna coklat), buah deduku atau daun talom (warna biru), dan kunyit serta kapur sirih (warna kuning).
Adapun alat yang digunakan dalam pembuatan tenun tapis yaitu sesang, alat untuk menyusun benang sebelum dipasang pada alat tenun. Mattakh merupakan alat untuk menenun kain tapis. Mattakh memiliki beberapa bagian yaitu terikan, cacap, belida, kusuran, apik, guyun, ijan atau penekan, sekeli, terupong atau teropong, amben, dan tekang.
Proses Pembuatan Kain Tapis Lampung
Tahapan pembuatan kain tapis Lampung terdiri dari 4 metode, yaitu pembuatan benang, pewarnaan benang, perajutan benang, dan penyulaman benang untuk membuat motif pada kain tapis.
Pembuatan kain tapis diawali dengan pemintalan kapas menjadi benang katun dan pemintalan kepompong ulat sutera menjadi benang emas. Selanjutnya, benang-benang tersebut melalui proses pengawetan dengan merendam dalam air yang sudah ditambahkan daun sirih wangi.
Tahapan berikutnya adalah pewarnaan benang dengan menggunakan bahan-bahan alami. Setelah warna benang dipilih dengan sesuai keinginan, benang direndam kembali dalam air yang dicampur daun sirih. Perendaman bertujuan agar warna benang tidak mudah luntur.
Selanjutnya, membuat benang menjadi kain dengan cara dirajut. Setelah kain jadi, tahapan yang paling penting adalah permbuatan motif yang diadaptasi dari alam sekitar, yakni flora dan fauna menggunakan benang-benang berwarna.
Penyulaman motif disulam menggunakan sistem cucuk dengan benang emas dan perak. Apabila penyulaman benang sudah selesai dikerjakan, maka kain tapis sudah selesai dibuat dan siap dikenakan.
Perkembangan teknologi menjadikan kain tapis kini dapat disulam dengan mesin bordir, tidak lagi secara tradisional menggunakan tangan.
Kendati demikian, penyulaman tapis dengan teknik-teknik tradisional masih tetap dipertahankan. Pembuatan kain tapis membutuhkan waktu berminggu, bahkan hingga berbulan-bulan.
Tak heran, harga kain tapis dapat mencapai puluhan juta rupiah. Harga bervariasi tergantung kerumitan motif yang dibuat. Bentuk kerajinan tapis yang dipasarkan antara lain sarung, hiasan dinding, taplak meja, tas, dan sebagainya.
Sentra Kain Tapis Lampung
Seiring dengan kian tingginya minat masyarakat terhadap eksistensi kain tapis Lampung yang dipadupadankan dengan berbagai busana hingga dijadikan sebagai kombinasi yang menghasilkan keindahan luar biasa, maka keberadaan pengrajin kain tapis Lampung pun kian dihargai sebagai sebuah warisan luhur yang harus dilestarikan.
Di Lampung sendiri, terdapat sebuah desa di Kabupaten Pesawaran yang dikenal sebagai sentra kain tapis Lampung, yakni di Desa Negeri Katon, Kecamatan Negeri Katon, Pesawaran.
Adalah Redawati, penggagas sekaligus koordinator Tapis Jejama yang menjadi tempat berhimpun bagi para pengrajin kain tapis di desa itu.
Eksistensi para pengrajin kain tapis di desa ini bahkan sudah berlangsung sejak tahun 1980 lalu dan sampai saat ini masih tetap lestari dan menjadi salah satu sumber penghasilan warga khususnya kaum perempuan di desa setempat.
Menurut Redawati, pada zaman dahulu, tak banyak pengrajin tapis di Desa Negeri Katon mengingat harga penjualan tapis cenderung murah meskipun hampir sebagian besar kaum perempuannya rata-rata memiliki keahlian membuat kain tapis.
"Waktu dulu masih murah sih tapisnya, upahnya saja hanya Rp5 ribu seminggu. Sekarang ibu-ibu di sini yang mengerjakan untuk sambilan (sampingan), jadi selesai masak dan beres-beres rumah baru buat tapis," kata Redawati.
Kain tapis di Desa Negeri Katon ini merupakan khas Pepadun, dan di Lampung sendiri ada dua kabupaten yang memproduksi tapis yaitu Kabupaten Pesawaran dan Kabupaten Pesisir Barat.
"Ini tapis Pepadun, bedanya dengan tapis Pesisir pembuatannya juga sudah beda. Kalau Pepadun itu pakai papan tekang (alat pembuat tapis), kalau Pesisir itu pakai meja. Motifnya pun beda, kalau kami banyak tapis Abung," terang dia.
Produk tapis pun kian berkembang, jika dulu hanya monoton pada kain kini juga berkembang menjadi berbagai turunan produk seperti selendang, peci, bros, jilbab, dompet, sandal hingga berbagai pernak-pernik aksesoris baik motif dan berbahan kain tapis.
Pemasaran tapis asal Desa Negeri Katon juga cukup luas, tak hanya dalam negeri bahkan sudah sampai negara-negara tetangga yang memesan di tempat produksi tersebut.
"Kalau pemasaran itu sudah ke Bandung, Jakarta, Medan, Papua, Mimika, Sulawesi. Kalau dari Dinas Perdagangan Provinsi (Lampung) kita punya anjungan di luar negeri, itu di Hongkong, Malaysia, Singapura, Australia," jelas Redawati.